Setelah berhasil menguasai Buleleng di Bali utara, Belanda melanjutkan serangan ke kerajaan-kerajaan di Bali selatan. Mayor Jendral Michiels setelah mendapat persetujuan dari Batavia, memutuskan untuk melanjutkan agresinya ke kerajaan Klungkung. Serangan ini sebagai hukuman atas pembangkangan kerajaan tersebut terhadap Pemerintah Belanda.
Sebelum fajar tiba, pada tangal 24 Mei 1849, Pasukan Belanda bergerak menyerang Kusamba melewati daerah perbukitan di perbatasan kerajaan Klungkung dan Karangasem. Pasukan Belanda didukung oleh sekitar 790 serdadu darat dan laut. Ditambah pasukan pembantu (kuli-kuli pengangkut) dari Madura, jumlah seluruh pasukan personel hamper 1200 orang.
Serbuan pasukan besar yang berpangkalan di Padang Cove (kini Padangbai) itu menyebabkan Puri Kusamba, gerbang timur Kerajaan Klungkung, langsung takluk. Namun, karena belum memiliki data dan peta pasti mengenai Kerajaan Klungkung, sang Jenderal memutuskan bermalam di Kusamba guna mengatur strategi menggempur kerajaan Klungkung keesokan harinya.
Namun tak dinyana, sebelum sempat berkemas menuju Klungkung, 25 Mei 1849 pukul tiga dini hari, Prajurit Pamating, laskar berani mati Kerajaan Klungkung tiba-tiba menyerang pasukan Belanda yang tengah mabuk kemenangan. Adalah Dewa Agung Istri Kanya, Raja Klungkung yang memerintahkan Prajurit Pamating menyerbu untuk merebut kembali Kusamba.
Di tengah gulita, pasukan Belanda yang belum mengenali situasi Puri Kusamba yang dijadikan markas gelagapan dan kalang kabut menghadapi serbuan mendadak Prajurit Pamating. Dalam keadaan panik, pasukan Belanda terpaksa menggunakan peluru cahaya (lichtkogel), sesuatu yang justru membuat prajurit pamating mudah mengenali musuh. Di tengah hiruk pikuk itu I Seliksik, senapan laras panjang pusaka Klungkung ditembakkan. Senapan ini dimitoskan bisa mencari sendiri sasarannya, layaknya peluru kendali. Benar saja, peluru yang dimuntahkan oleh I Seliksik menembus paha kanan Jenderal Michiels.
Sang Jenderal tumbang dengan lumuran darah di sebagian tubuhnya. Melihat kondisinya, perwira kesehatan menganjurkan agar kakinya diamputasi. Tapi panglima perang yang dikelan garang itu menolak. Ia minta dirawat di kapal komando di Padang Cove. Namun darah mengalir begitu deras dari lukanya membuat kondisi tubuhnya terus memburuk. Jelang tengah malam, 25 Mei 1849, sang Jenderal pun menutup riwayatnya. Dua hari kemudian jasad bekas Gubernur Militer dan Sipil di Sumatra Barat yang sebelumnya gemilang di tujuh pertempuran besar di Nusantara itu, dikirim ke Batavia dengan kapal perang Etna.
Kepergian Jenderal Michiels membuat moral pasukan Belanda runtuh. Beberapa perwira luput dari kawalan dan mendapat celaka. Satu di antara mereka yang menyusul Jenderal Michiels adalah Kapten H Everste.
Untuk menggatikan Michiels, Letkol van Swieten mengambil alih komado. Dialah perwira tertua dalam pasukan Belanda saat itu. Di bawah perintahnya, pasukan Belanda berhasil memaksa mundur laskar Kusamba. Mereka menarik diri ke Klungkung. Sebagian lagi bertahan di desa-desa di sekitar Kusamba.
Dalam keadaan yang tidak terlalu menguntungkan, van Swieten mengubah strategi. Sembari menarik mundur pasukannya ke Padang Cove, dia mengirimkan sinyal hendak mengadakan perundingan dengan Raja Klungkung. Dia tak mau bertahan di Kusamba untuk menghindari serangan balik yang tiba-tiba dari Laskar Klungkung. Terutama karena ia mendengar pasukan di bawah Komando Dewa Agung Istri kanya itu bisa bergerak cepat dan berperang dengan taktik bumi hangus.
Melihat Kusamba hanya dijaga pasukan terbatas, Raja Dewa Agung Istri Kanya beserta Adipati Dewa Agung Ketut Agung memerintahkan serangan balik ke Kusamba. Dalam waktu tak terlalu lama pelabuhan utama Klungkung itu pun direbut kembali. Pasukan di kapal-kapal Belanda yang disiagakan di Pantai Goa Lawah tak sanggup menahan gempuran laskar Kusamba.
Van Swieten geram. Lewat utusan Gusti Gede Rai, pemimpin laskar Lombok yang bersekutu dengan Belanda, dia menyurati Raja Klungkung dengan ancaman: bila dalam waktu delapan hari Kusamba tidak diserahkan kepada Belanda, Kusamba bakal diserbu kembali. Tidak hanya Kusamba, Ibu Kota Klungkung pun akan ia luluh-lantakkan. Dalam suratnya, Van Swieten menyatakan bahwa Klungkung telah melanggar kehendak perdamaian yang bakal digelar 2 Juni 1849, yang juga akan dihadiri pihak Raja Gianyar dan Mengwi.
Membaca surat Van Swieten, Dewa Agung Istri kanya amat tersinggung. Lewat surat 9 Juni 1849 yang ditandatangani Adipati Dewa Agung Ketut Agung, Raja Klungkung itu berbalik menolak perundingan. Baginya, dengan suratnya Van Swieten telah menghina Raja Klungkung yang berdaulat atas wilayahnya. Menurut Istri Kanya pula, van Swieten telah berlaku amat tak sopan meminta raja sahabat mendatangi perundingan dengan Belanda. Seharusnya, menurut Istri Kanya, bila memang berniat bersahabat, van Swieten-lah yang semestinya datang menghadap dan meminta maaf, sebab telah menyerang dan menghacurkan Kusamba.
Setelah mengirimkan surat, Dewa Agung Istri Kania memerintahkan agar Kusamba dijaga lebih ketat lagi. Penjagaan sudah harus dilakukan dari kawasan Goa Lawah, sekitar lima kilometer di timur Kusamba.
Mendapati penolakan itu, Belanda yang telah menambahkan bala bantuan dan perlengkapan perang, memberangkatkan 3000 tentara dari Padang Cove. Pasukan itu dilengkapi 130-140 ribu peluru dan persediaan makanan sebanyak tujuh sampan. Bersama Pasukan Belanda itu turut pula laskar Lombok.
Dengan kekuatan sebesar itu penjagaan ketat atas Kusamba langsung jebol. Pada 10 Juni 1849, pukul 10 pagi, Kusamba yang dijaga 3000 prajurit bersenjata keris dan tombak, jatuh lagi ke tangan Belanda. Begitu berjaya, van Swieten berniat meneruskan serangan ke Klungkung. Ia ingin mewujudkan ancamannya kepada Dewa Agung Istri Kania yang dianggpan sangat keras kepala. Sebentar lagi, Kerajaan Klungkung akan ia ratakan dengan tanah.
Namun, pada saat itu genting itu, seorang pebisnis sekaligus petualang dan agen Belanda yang dekat dan dipercaya banyak kalangan petinggi kerajaan di Bali, Mads Lange, menemui van Swieten di Kusamba. Dia meminta komandan pasukan Belanda itu mengurungkan niatnya menyerang Klungkung karena di Klungkung saat itu telah ada 16 ribu laskar Tabanan dan Badung.
Entah gentar atau berhitung untung-rugi, van Swieten mendengar bujukan Lange. Ia mengurungkan niatnya untuk menyerbu Klungkung saat itu. Ia memilih bercokol di Kusamba sembari menunggu Kerajaan Klungkung lengah. Keputusan ini menunda kekalahan Kerajaan Klungkung lebih dari setengah abad lamanya. Seperti tercatat dalam sejarah, baru pada 1908 Belanda benar-benar berhasil menundukkan Kerajaan Klungkung sekaligus mengukuhkan hegemoninya atas kerajaan-kerajaan yang ada di Bali.